Selasa, 17 Januari 2012

Menilik Citra Pers Mahasiswa di Mata Warga Kampus


Belum lama ini saya kembali mengalami kejadian kurang mengenakkan di kampus, yakni ditegur oleh satpam kampus ketika akan pulang. Memang saya akui, jam pulang saya terlambat, saya pulang agak larut malam setelah membantu teman-teman menyelesaikan pembuatan majalah. Namun bukan itu yang membuat si satpam marah. Satpam tersebut marah karena saya ini anggota LPM alias Lembaga Pers Mahasiswa. Saya tak kaget karena itu bukan pertama kalinya saya mengalami kejadian seperti itu. Malah sebelum kejadian tersebut, saya ditegur langsung oleh pimpinan tertinggi institusi. Ya, karena saya anggota Lembaga Pers Mahasiswa.
Dulu ketika pertama kali terjun di dunia pers, saya amat heran mengapa kebanyakan warga kampus tidak suka akan kehadiran kami. Lama kelamaan saya paham, mereka tak suka akan kritikan, meski kenyataannya mereka perlu dikritik. Kebanyakan belum memahami tentang fungsi dan manfaat pers. Yang mereka tahu, pers hanya bisa mengkritik dan menjelek-jelekkan. Padahal sebagian besar dari warga kampus tentunya adalah akademisi― orang-orang yang terdidik dan sangat paham akan peradaban. Dan ternyata tak hanya di kampus saya hal seperti itu terjadi. Tak sedikit teman-teman mahasiswa pegiat pers yang mengalami nasib serupa. Bahkan ada yang lebih parah, yakni diberedelnya majalah mereka dan penganiayaan aktivis pers mahasiswa.
Menengok ke belakang, munculnya persma atau pers mahasiswa di Indonesia sudah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Yang memelopori adalah mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Belanda tahun 1924 sebagai bentuk protes terhadap ketertindasan bangsa mereka. Sempat mati suri saat kependudukan Jepang karena represi yang amat keras, namun aktivitas pers mahasiswa kembali bangkit setelah proklamasi dikumandangkan. Terutama setelah tahun 1950, persma berkembang pesat. Pada 8 Agustus 1955 di Yogyakarta diadakan konferensi I bagi pers mahasiswa Indonesia yang melahirkan dua organisasi: IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Tahun 1958, Konferensi II dilaksanakan dan meleburlah kedua organisasi tadi menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia). Pasang surut mewarnai perjalanan pers mahasiswa dalam berjuang melawan tirani. Pemberedelan yang marak terjadi terutama pada masa Orde Baru tak membuat para aktivis gentar memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Tak sedikit dari mereka yang menghilang tanpa jejak (baca: dihilangkan) dan dijebloskan ke penjara karena suara mereka yang begitu berani. Memang kekuatan pers merupakan salah satu kekuatan yang ditakuti oleh pemerintah, apalagi bila itu timbul dari mahasiswa.
Di masa seperti sekarang ini, masa dimana demokrasi telah meresap ke setiap komponen bangsa, pers tumbuh semakin pesat dan semakin meluas. Perkembangan teknologi pun turut andil dalam menyuburkan pers. Masyarakat lebih percaya pada media massa ketimbang pemerintah. Tukang becak pun kini melek politik.  Sudah bukan masanya pers diberedel karena kritik kerasnya terhadap pemerintah. Inilah masa kebebasan berpendapat yang mana juga kebebasan pers menjalankan fungsinya. Pers punya kode etik jurnalistik dan undang-undang yang mengaturnya. Buruknya, terkadang ada insan pers yang menyikapi independensi dan kewenangan yang dimilikinya dengan tidak bijaksana dan tidak memperhatikan kode etiknya. Untuk itulah ada Dewan Pers.
Keberadaan pers mahasiswa sama pentingnya dengan pers pada umumnya. Yang membedakan antara keduanya adalah ruang lingkup. Dahulu keduanya hampir tak memiliki perbedaan, karena ruang lingkup persma adalah ruang lingkup pers biasa juga. Namun pada masa kini, pers mahasiswa kembali ke tempat asalnya. Kampus adalah ruang lingkup persma bergerak, namun tak menutup kesempatan bagi persma untuk tetap tanggap terhadap isu-isu diluar kampus. Keduanya tetap memiliki fungsi yang sama, yaitu edukasi, informasi, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi yang terakhir ini yang sering menjadi masalah dan membuat citra pers mahasiswa menjadi buruk dimata warga kampus. Tak jarang yang terkena kritikan marah, tak suka, melontarkan sangkalan dan pembelaan. Wajar saja kalau menurut saya, manusia pada dasarnya tak suka dikritik, lebih suka dipuji. Yang membedakan adalah cara mereka mengekspresikan ketidaksukaan mereka. Ada yang menanggapi kritik dengan baik, mereka menerima dan mendengarkan untuk selanjutnya melakukan instrospeksi dan pembenahan. Namun kebanyakan tak menerima, meski apa yang disuarakan oleh persmanya adalah kebenaran.
Untuk itulah diperlukan keberanian yang amat besar ketika kita akan terjun ke dunia pers mahasiswa. Kejujuran dan kehati-hatian tentu juga perlu. Rintangan terberat kita adalah mereka yang menolak kebenaran dan pembenahan. Namun tak berarti juga kita memusuhi mereka. Karena pers mahasiswa didirikan bukan untuk menjadi musuh dari pihak manapun, melainkan untuk menyuarakan kebenaran dalam rangka pembenahan dan perbaikan terutama di lingkungan kampus.[bell]

0 komentar:

Posting Komentar