This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 12 Mei 2011

Ketika Aktualisasi Pers Mahasiswa (mulai) Diperhitungkan


Oleh: Firdaus Setio Nugroho

Pemimpin Umum LPM DIMENSI Periode 2010 / 2011





Pers Mahasiswa (persma) atau yang biasa disebut sebagai pers kampus adalah sebagian kecil dari pers media yang kian menjamur. Pers kampus yang ditangguhkan sebagai pers alternatif menjadi semakin rancu fungsinya di akhir-akhir periode ini. Pers kampus berfungsi sebagai pers pergerakan, malah beralih fungsi menjadi pers akademis yang hanya mengkritisi masalah birokrasi kampus saja tanpa mempedulikan isu global yang sedang menjangkit masyarakat umum.

Permasalahan klasik yang sering diperbincangkan rekan-rekan persma adalah persoalan lembaga kita yang berdiri di dalam kampus, dan diharuskan menjadi kontrol sosial kampus. Hingga analisis tentang isu social jarang tersentil dari balik meja redaksi. Diharapkan nilai alternatif pers kampus nantinya juga akan sejalan dengan fungsi mahasiswa sebagai agen perubahan (agent of change). Aktivis mahasiswa melakukan perubahan dengan berbagai aksi protesnya, akan tetapi aktivis pers mahasiswa melakukan perubahan lewat tulisannya, dari apa yang diangkatnya. Sudah barang tentu tulisan yang dihasilkan harus memberikan kritik solutif, dengan rentetan solusi, jadi tak sebatas hujatan semata.

Pers Kampus menulis untuk memperjuangkan sebuah idealisme kampus, kepentingan masyarakat, dan mengungkap fakta, dan keadilan. Mahasiswa semestinya tidak terus-terusan dicekoki dengan media infotainment saja, tapi juga diselingi dengan wacana kritis yang bisa mengubah pola pikir menjadi lebih intelektual. Sehingga generasi yang akan muncul adalah generasi yang peduli dengan keadaan isu global.

Melihat kemungkinan yang ada, pers kampus berpeluang untuk dapat maju dan berkembang pesat mengalahkan media pers umum. Dengan jurnalisme kampus yang kredibel, akuntabel dan tetap dalam idealis medianya masing-masing, pers kampus bisa menjadi media perjuangan untuk kebenaran dan keadilan.

Kendala Pers Kampus

Kampus identik dengan perkuliahan, kendala umum yang sering terjadi adalah ketatnya jam perkuliahan yang menyebabkan jurnalis kampus harus siap ditantang pintar membagi kesibukan.Semakin sulit lagi keadaannya jika kita dihadapkan pada masalah pilihan. Kita harus memilih apa yang harus kita kerjakan terlebih dahulu, tugas kuliah atau deadline liputan.

Permasalahan produk layak jual pun sempat terbesit. Produk seperti apakah yang akan dicetak di pers mahasiswa. Pangsa pasar utama adalah mahasiswa. Mau mengangkat wacana tentang kampus untuk laporan utama atau memilih isu nasional untuk menjadi laporan utama. Namun yang perlu diingat, jangan sampai media kampus menjadi seperti koran kuning yang menampilkan berita-berita sensasi untuk menjadi barang dagangan.

Persoalan utama yang sering terjadi pada pers kampus adalah pendanaan. Penyebabnya adalah ketergantungan sebagian besar lembaga pers kampus pada dana subsidi produk yang dihasilkan. Ketergantungan pers kampus pada dana subsidi, mengakibatkan keterbatasan reporter kampus untuk bertindak kritis. Maka jika isi produk yang dihasilkan pers kampus terasa membosankan, itu karena reporter kampus yang kehilangan daya kritisnya dan ruang gerak mereka yang masih dipagari oleh institusi.

Masalah regenerasi pers kampus ikut mencuat beriringan dengan permasalahan pendanaan dan keredaksian. Jarang ada anggota pers kampus yang bisa bertahan lama bernaung dalam jurnalisme kampus. Ini yang masih diperbincangkan dan dicarikan solusinya. Apakah permasalahan ada pada sistem regenerasi di bawah divisi litbang, kejenuhan reporter yang terus-terusan dikejar deadline, kepenatan karena seorang jurnalis dituntut untuk berpikir kritis, ataukah permasalahan lain yang membuat jenuh berada di lembaga pers mahasiswa.Ironis jika nanti pers kampus akan mati karena tidak ada regenerasi, berita yang membosankan, dan macet di pendanaan. Padahal pers kampus adalah sarana yang bagus untuk melengkapi fungsi mahasiswa sebagai agent of change. [ ]

Rabu, 11 Mei 2011

Akankah Kita Menjadi Generasi (yang) Keblinger?


Oleh: David P. Esap

Mahasiswa Semester II Jurusan Teknik Mesin

Lebih dari setengah abad yang lalu negara kita telah memploklamirkan kemerdekaannya. Telah diakui pula negara kita sebagai negara merdeka, banyak yang berubah semenjak itu, begitu juga pola pikir dari sebagian masyarakat kita sekarang.

Masih teringat dipikiran kita saat belajar sejarah di sekolah, bagaimana perjuangan generasi Soekarno-Hatta guna memperoleh hak-hak manusia Indonesia seutuhnya, termasuk hak untuk memperoleh pendidikan yang layak. Bukan suatu hal mudah bagi Soekarno, Hatta, serta pahlawan-pahlawan generasi itu untuk dapat belajar di sekolah-sekolah koloni, yang ketika itu hanya segelintir dari masyarakat kita yang mendapatkannya. Walau dididik oleh guru-guru berkebangsaan lain, yang notabene orang-orang yang telah menjajah mereka, mereka tetap bersemangat guna memperoleh ilmu pengetahuan. Menuntut ilmu demi pembebasan hak-hak rakyat adalah salah satu perjuangan mereka. Penjara bukan lagi tempat asing karena tulisan-tulisan pergerakan mereka -yang merupakan implementasi pembelajaran di kelas-kelas- telah mengganggu ketenangan para penjajah.

Namun apa yang terjadi sekarang sangat memperihatinkan, pendidikan bukan lagi kata sakral yang keberadaannya dimanfaatkan dengan maksimal. Mahasiswa yang berada di tingkat kedewasaan pendidikan tertinggi pun, belum seluruhnya memahami arti penting sebuah pendidikan. Mereka yang mempunyai niat awal untuk memperoleh ilmu dengan kuliah, seakan lupa(atau sengaja melupakan) pada apa yang mereka janjikan pada orang tua. Janji bahwa mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh hanyalah tekad basi yang nonsense.

Sudah menjadi ciri khas mahasiswa sekarang yang terkesan menyepelekan persoalan dan berperilaku seenaknya seperti fenomena tidur di kelas. Saat proses pembelajaran sedang berlangsung, tidak bisa dipungkiri kebanyakan dari kita yang masuk kelas hanya untuk setor wajah yang kemudian tidur di kelas. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berasal dari kota kecil rela pergi meninggalkan jam pelajaran hanya untuk mengunjungi tempat-tempat keramaian seperti dunia gemerlap (dugem) dan disana mereka hanya menghambur-hamburkan uang orang tua mereka, agar mereka tidak dibilang mahasiswa kuper (kurang pergaulan) serta masih banyak lagi kegiatan negatif yang tidak bisa terungkapkan.

Renungkanlah bahwa orang tua kita disana, yang sedang berjuang untuk pendidikan kita dan berpikir buah hatinya memang sedang belajar, harus menerima kenyataan bahwa mereka hanya bisa tidur di kelas atau menghabiskan uang orang tuanya!

Apakah ini karena kebebasan yang kita dapatkan terlalu berlebihan sehingga kita merasa keblinger? Apakah kita akan terus-terusan mengkambinghitamkan sistem perkuliahan di kampus kita yang terlampau ketat? Salahkah jika ada orang yang mengatakan bahwa kita adalah generasi yang keblinger?

DIDIKAN PEGAWAI ALA POLINES (KALAU TIDAK BISA DISEBUT “PEKERJA”)

oleh: Inten Anginekke

Mahasiswi Semester II Jurusan Akuntansi Polines

Tulisan ini terilhami setelah saya menonton sebuah debat calon walikota di sebuah stasiun televisi lokal. Satu per satu calon memaparkan apa visi misi mereka. Salah satu dari calon mengatakan bahwa dia akan meningkatkan potensi kewirausahaan mahasiswa melalui program-program pengembangan kreativitas mahasiswa.

Saya jadi teringat pada program bagi mahasiswa baru di UGM (Universitas Gajah Mada). Beberapa waktu lalu saya bertemu dengan eks teman sekolah yang berkuliah disana. Kami berbicara banyak hal termasuk mengenai sistem perkuliahan dan aktivitas kemahasiswaan. Dia mengatakan bahwa saat ini di UGM telah diterapkan program bagi mahasiswa semester satu untuk merancang sebuah proposal pendirian perusahaan. Kemudian ketika lulus diharapkan proposal tersebut dapat direalisasikan dengan berdirinya suatu bentuk usaha.

Program-program seperti inilah yang kita harapkan ada di kampus kita. Bukan hanya kuliah-kuliah yang berisi bagaimana menjadi pegawai yang baik dan bagaimana dapat lolos dalam seleksi rekruitmen suatu perusahaan. Kita membutuhkan mata kuliah mengenai bagaimana mendirikan sebuah usaha, semangat-semangat kemandirian, dan semangat berfikir kreatif.

Saya berfikir, apakah sistem perkuliahan kita yang delapan jam sehari adalah memang suatu pembiasaan bagi mahasiswa untuk dapat ”tahan” bekerja di suatu perusahaan. Kalau memang begitu, sungguh disayangkan waktu tiga tahun kita yang hanya akan mencetak ”robot-robot” perusahaan. Mahasiswa adalah anak bangsa, dan suatu bangsa membutuhkan masyarakat kreatif yang menjadi komando bagi dirinya sendiri menuju sebuah bangsa yang sukses dan mandiri. Tindakan mandiri seseorang akan dapat dengan mudah muncul dalam lingkungan yang penuh rangsangan, umpan balik dan kritik konstruktif dalam sebuah komunikasi kreatif.

Betapa seorang Robert T. Kiyosaki telah menciptakan sebuah buku luar biasa, ”Rich Dad Poor Dad” yang berisi bagaimana peran besar seorang ayah ”miskin” dan ”kaya” mendidik putranya tentang pandangan-pandangan mengenai kesuksesan. Seperti frame berpikir dan mental yang ditanamkan seorang pendidik, sangatlah penting dalam membentuk kepribadian anak didiknya. Lingkungan dan sistem di sebuah institusi berpengaruh terhadap bagaimana seorang berlabel pelajar memandang apa yang ada di depannya. Jika sejak dini seorang mahasiswa dididik dengan motivasi dan semangat kewirausahaan, ini akan berefek baik sehingga nantinya menjadi insan yang mandiri dan percaya diri dengan ide-idenya.

Saya bersyukur sudah ada program-program dari Dikti seperti PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) yang memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk berkreasi dan berfikir mandiri. Alangkah baiknya jika program-program semacam ini lebih tersosialisasi dan mendapat perhatian lebih dari institusi.

Kita berharap lulusan kita tidak hanya menjadi orang-orangan sawah yang geraknya disetir oleh orang lain apalagi bangsa lain. Semangat mandiri inilah yang kita harapkan ada pada jiwa kawan-kawan. Lulusan berkualitas yang tidak bergantung pada lowongan-lowongan pekerjaan.