This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 20 April 2011

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat! (komentar terkait)

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!

Oleh Yudhistira ANM Massardi

KOMPAS.com - Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai, --katakanlah hingga dua dekade ke depan--, yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur. Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur.

Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun.

Dalam "kalimat lain", ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya. Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi?

Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang. Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Sir Ken Robinson, profesor pakar pendidikan dan kreativitas dari Inggris, dalam orasi-orasinya, yang menyentakkan ironisme: menggambarkan betapa sekarang ini sudah terjadi inflasi gelar akademis sehingga ketersediaannya melampaui tingkat kebutuhan. Akibatnya, nilainya di dunia kerja semakin merosot.

Lebih dari itu, ia menilai sekolah-sekolah hanya membunuh kreativitas para siswa. Maka, harus dilakukan revolusi di bidang pendidikan yang lebih mengutamakan pembangunan kreativitas.

Paul Krugman, kolumnis The New York Times yang disegani, dalam tulisannya pada 6 Maret 2011, menegaskan fakta-fakta di Amerika Serikat bahwa posisi golongan kerah putih di level menengah— yang selama beberapa dekade dikuasai para sarjana dan bergaji tinggi--, kini digantikan peranti lunak komputer. Lowongan kerja untuk level ini tidak tumbuh, malah terus menciut. Sebaliknya, lapangan kerja untuk yang bergaji rendah, dengan jenis kerja manual yang belum bisa digantikan komputer, seperti para petugas pengantaran dan kebersihan, terus tumbuh.

Kreativitas dan imajinasi

Fakta lokal dan kondisi global tersebut harus segera diantisipasi oleh para pemangku kepentingan dalam dunia pendidikan. Persepsi kultural dan sosial yang mengangankan bahwa semakin tinggi jenjang pendidikan semakin mudah mendapatkan pekerjaan adalah mimpi di siang bolong!

Namun, jika orientasi masyarakat tetap untuk "jadi pegawai", yang harus difasilitasi adalah sekolah-sekolah dan pelatihan-pelatihan murah dan singkat. Misalnya untuk menempati posisi operator, baik yang manual seperti pekerjaan di bidang konstruksi, manufaktur, transportasi, pertanian, ataupun yang berbasis komputer di perkantoran.

Untuk itu, tak perlu embel-embel (sekolah) "bertaraf internasional" yang menggelikan itu karena komputer sudah dibuat dengan standar internasional. Akan tetapi, kualitas peradaban sebuah bangsa tak cukup hanya ditopang oleh para operator di lapangan. Mutlak perlu dilahirkan para kreator yang kaya imajinasi. Oleh karena itu, seluruh potensi kecerdasan anak bangsa harus dibangun secara lebih serius yang hanya bisa dicapai jika rangsangannya diberikan sejak usia dini.

Maka, diperlukan metode pengajaran yang tak hanya membangun kecerdasan visual-auditori-kinestetik, juga kreativitas dan kemandirian. Kata kuncinya adalah "kreativitas" dan "imajinasi"; dua hal yang belum akan tergantikan oleh komputer secerdas apa pun!

Zaman terus berubah. Sistem pendidikan dan paradigma usang harus diganti dengan yang baru. Era teknologi analog sudah ketinggalan zaman. Kini kita sudah memasuki era digital. Itu artinya, konsep tentang ruang dan waktu pun berubah.

Hal-hal yang tadinya dikerjakan dalam waktu panjang, dengan biaya tinggi, dan banyak pekerja, jadi lebih ringkas. Maka, tujuan paling mendasar dari suatu sistem pendidikan baru harus bisa membangun semangat "cinta belajar" pada semua peserta didik sejak awal. Dengan spirit dan mentalitas "cinta belajar", apa pun yang akan dihadapi pada masa depan, mereka akan bisa bertahan untuk beradaptasi, menguasai, dan mengubahnya.

Membangun semangat "cinta belajar" tak perlu harus ke perguruan tinggi. Kini seluruh ilmu pengetahuan sudah tersedia secara digital, bisa diakses melalui komputer di warnet ataupun melalui telepon genggam. Jadi, cukup berikan kemampuan menggunakan komputer, mencari sumber informasi yang dibutuhkan di internet, dan bahasa Inggris secukupnya karena di dunia maya tersedia mesin penerjemah aneka bahasa yang instan.

Anak-anak cukup sekolah 12 tahun saja (mulai dari pendidikan anak usia dini, PAUD)! Mereka tidak usah jadi pegawai. Dunia kreatif yang bernilai tinggi tersedia untuk mereka, sepanjang manusia masih ada.

Penulis adalah Sastrawan; Pengelola Sekolah Gratis untuk Dhuafa, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi

Selasa, 05 April 2011

Kampus “Tanpa Nama”

Polines, DIMENSI(7/1) - Politeknik Negeri Semarang merupakan lembaga pendidikan yang menurut sejarah singkatnya didirikan atas dasar langkanya tenaga teknisi ahli madya yang dibutuhkan industri. Pada tahun 1982, Polines merupakan bagian dari Universitas Diponegoro (UNDIP) sehingga disebut Politeknik UNDIP. Namun berdasarkan SK Menteri Pendidikan dan kebudayaan RI Nomor: 175/O/1997, pada tanggal 6 Agustus tahun 1997, Politeknik UNDIP resmi dinyatakan mandiri dan terlepas dari manajemen UNDIP sehingga berganti nama menjadi Politeknik Negeri Semarang (Polines).
Hingga saat ini, sudah 13 tahun Polines berdiri, namun tidak banyak yang mengetahui bahwa Polines merupakan singkatan dari Politeknik Negeri Semarang. ”Ironis sekali, Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo pun tidak mengetahuinya. Beliau mengira jika Polines adalah adalah bagian dari UNNES,” tutur bapak Budi Riyanto, S.E. selaku Kepala Urusan Kerumahtanggaan dan Perlengkapan. Dan sampai saat ini, sebutan Polines sedang digodhog oleh panitia khusus yang sengaja dibentuk untuk mengatasi masalah tersebut.
Beberapa waktu lalu DIMENSI telah melakukan wawancara dengan beberapa mahasiswa mengenai identitas Polines yang tertempel pada tembok besar di halaman Polines yang menghadap ke selatan. Beberapa mahasiswa menyatakan kekecewaannya dikarenakan tulisan Polines yang tercantum sudah tidak lengkap dan tidak dapat dibaca. Dan saat ini tulisan tersebut benar-benar tidak tersisa satu huruf pun. Bahkan banyak kalangan yang menyebut tembok besar tersebut sebagai kuburan Cina. Lalu, kemana perginya huruf-huruf tersebut?
Berdasarkan penjelasan dari bapak Budi Riyanto, S.E. tulisan tersebut sudah diganti sebanyak 2 (dua) kali selama selang waktu 13 tahun ini. “Sebenarnya saat ini dari pihak Kerumahtanggaan dan Perlengkapan telah memiliki pengganti tulisan yang hilang tersebut , tetapi sengaja belum dipasang,” tutur beliau. Dikhawatirkan setelah dipasang akan kembali dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab di luar sana. Tembok besar Polines tersebut diharapkan dapat berfungsi sebagai identitas Polines dan sekaligus dapat berfungsi sebagai tempat foto mahasiswa yang wisuda. Namun, kini fungsi tersebut telah berubah menjadi tempat nongkrong berbagai kalangan di malam hari. Pihak Polines pun mengaku belum mampu optimal dalam pengawasan aset . “Dalam hal ini, diperlukan kerjasama antara Polines dengan masyarakat sekitar kampus tersebut,” ungkap beliau.
Pihak Kerumahtanggaan dan Perlengkapan saat ini telah mempunyai rencana akan mendesain ulang tembok besar tersebut. Nantinya akan dibuat kolam di depan tembok tersebut, sehingga tulisan Polines akan aman dari tangan-tangan jahil. “Tahun 2011 harus bisa bersih,” cetus bapak Budi Riyanto, S.E. Tak hanya masalah tembok besar tersebut, Polines saat ini pun masih bingung menentukan arah dan letak dari pintu utama, antara halaman depan dan belakang. Penyelesaian tersebut tidak mudah diputuskan karena adanya kendala Birokrasi. “Sesuai rencana, pada bulan Februari mendatangakan dimulai pengerjaan pembersihan dan pembenahan aset-aset Polines,” tutup beliau. [naya, vhevi-mggz-LPM DIMENSI]

MISKIN DI NEGERI YANG KAYA



Oleh: Andhini Dyah
Mahasiswa Semester II Jurusan Akuntansi

Kemiskinan yang melanda suatu negara bukanlah suatu bencana yang datang dari atas langit melainkan merupakan suatu hasil pencapaian atas apa yang telah dilakukan oleh manusia-manusia yang berada di negara itu. Negeri ini memang negeri yang penuh paradoks, meski kaya akan sumber alam negara ini tetap saja menjadi negara miskin. Bagaimana kemiskinan dihapus dari bumi kita jika masih banyak pejabat dan petinggi lainnya tak henti – henti melakukan korupsi untuk memperkaya diri mereka. Ironisnya, yang mereka korupsi ialah dana untuk program pengentasan kemiskinan.
Realita yang terjadi sekarang ini ialah banyak rakyat miskin yang masih tinggal di kolong jembatan dengan berbagai kebutuhan yang sangat minim. Kerasnya kehidupan di jaman sekarang membuat mereka begitu pasrah menghadapi keterpurukan mereka. Kemiskinan seakan menjadi sebuah takdir yang tidak mungkin untuk mereka ubah. Berkhayal untuk memajukan kehidupan saja tidak berani mereka lakukan. Hal ini berbanding terbalik dengan si kaya yang memiliki rumah mewah, harta melimpah, dan kedudukan juga kekuasaan besar. Kedudukan inilah yang dimanfaatkan oleh mereka untuk memperkaya diri tanpa memperhatikan pihak lain yang merasa dirugikan.
Sementara itu, pemerintah seolah tak peduli dan hanya memberikan solusi untuk jangka pendek yang berbelit sehingga membuat rakyat semakin terbebani untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Seakan pemerintah tidak mau bertanggungjawab dengan memalingkan muka mereka dan memilih mengalihkan perhatian dengan masalah yang timbul di bidang yang lainnya. Pemerintah hanya dapat membuat kebijakan – kebijakan yang semakin memperburuk keadaan rakyat miskin.
Pertambahan penduduk yang setiap tahun semakin meningkat juga semakin memperburuk negara ini. Bagaimana tidak, pengangguran tersebar dimana – mana membuat persentase orang miskin semakin meningkat. Dengan bertambahnya penduduk, pemerintah seharusnya dapat memberikan solusi terbaik untuk mereka. Misalnya saja memberikan pengajaran di sekolah gratis dalam bidang kewirausahaan agar nantinya mereka memiliki keterampilan untuk membuka lapangan pekerjaan sendiri dan tidak perlu bergantung pada orang lain. Pemerintah juga seharusnya dapat bertanggung jawab atas kebijakan yang mereka keluarkan, agar masyarakat juga tidak keberatan melaksanakan kebijakan tersebut. Jika kebijakan dari pemerintah tidak segera dapat menyelesaikan masalah rakyatnya, maka kesenjangan sosial antar golongan masyarakat tidak dapat dihindarkan. Hal ini benar – benar merugikan rakyat kecil yang tidak bersalah.
Negara kita terkenal akan kekayaan alamnya, namun hal ini tidak lantas membuat kemiskinan di negara ini terhapuskan. Seharusnya kita dapat mengembangkan kekayaan alam yang ada dengan adanya sumber daya manusia yang saat ini sangat memadai. Pemerintah tidak seharusnya selalu mengharap kepada produk import dari luar negeri, padahal negaranya sendiri bisa memproduksi dengan kualitas yang lebih baik. Jika hal ini terus berjalan di negara ini, para investor dari luar negeri akan merasa enggan untuk melakukan kerja sama dengan Indonesia karena dinilai tidak produktif. Pada akhirnya akan membuat negara ini makin miskin dan rakyat miskin pun jadi korban untuk kesekian kalinya.
Pemerintah dan masyarakat sebaiknya bekerja sama secara optimal agar keseimbangan negara dapat tercapai. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan adanya komunikasi yang baik antar keduanya. Pemerintah sendiri sebaiknya lebih mempercayakan masyarakatnya dalam hal produksi dalam negeri, sehingga tidak perlu lagi mengimpor barang – barang produksi dari luar. Dengan begitu masyarakat pasti dapat mengembangkan hasil produksi secara maksimal dengan kualitas yang baik.

YANG MUDA YANG BERKREASI

Mahasiswa yang memiliki nama lengkap Muhammad Yusuf Nasrullah ini tercatat sebagai mahasiswa semester akhir jurusan D3 Administrasi Niaga Polines. Mas Asrul panggilan akrabnya, pria kelahiran 27 Desember 1987. Sejak terdaftar menjadi mahasiswa baru ia sudah memiliki angan-angan untuk membuka jasa fotocopy di area Tata Niaga. Untuk mewujudkan keinginannya tersebut, ia mengikuti program PMW yang tiap tahun diselenggarakan oleh Ditjen Dikti. Pada awalnya dia dan beserta 2 rekannya menggagas sebuah ide untuk membuka bisnis Print Online yang berada di luar area kampus POLINES, namun ide tersebut urung dilakukan karena mengalami kesulitan dalam sistem kerjanya serta kenaikan harga drastis yang disebabkan Undip (Universitas Diponegoro) peleburan yang pindah ke Tembalang membuat harga kios yang semulanya Rp10-15 juta, naik menjadi Rp25juta.
Sebelum menyusun proposal, Mas Asrul dan timnya mengikuti magang industri disebuah jasa fotocopy milik almarhum bapak Heru di daerah Tegalsari selama satu bulan. Dengan adanya pelatihan kerja tersebut mereka belajar mengoperasikan mesin fotocopy, mesin pemotong kertas dan lainnya.
Awalnya Asrul Sutarjo, panggilan akrabnya di UKM Konsep, berencana untuk mendirikan jasa fotocopy di area kantin TANIA (Tata Niaga) karena di sana terdapat tempat yang luas untuk bekerja. Namun karena area tersebut direncanakan untuk kepentingan yang lain, Mas Asrul dan kawan-kawan memutuskan untuk mengajukan proposal kepada bapak Noor Ardiansyah selaku kajur Akuntansi guna memakai tempat di dekat koperasi HIMA.
Usaha penggandaan dokumen telah berhasil dibuka, tetapi dalam pelaksanaannya usaha ini masih menemui berbagai kendala seperti tempat yang sempit dan terpencil sehingga banyak mahasiswa yang tidak tahu akan keberadaan tempat fotocopy tersebut. Disamping itu usaha ini hanya mempunyai satu karyawan saja, sehingga memaksa Mas Asrul dan kedua rekannya bergantian untuk melayani pelanggan. Alasan lain yang diungkapkan Mas Asrul yaitu masalah pembagian waktu antara mengurusi bisnis dan menyelesaikan TA.
Rencana kedepannya bila usaha fotocopy ini sukses, mereka akan membuka fotocopy lain di area kampus namun diluar POLINES. Bila ditanya mengapa mereka berencana untuk membuka usaha fotocopy lagi, karena pangsa pasar di daerah sekitar kampus sangat memungkinkan untuk mengembangkan usaha ini.
“Sebisa mungkin kita harus menciptakan lapangan kerja, bukan kita yang ikut kerja. saat ini semuanya serba mudah. Untuk berjualan kita tidak perlu berjalan dari pintu ke pintu. Membuka usahapun tidak hanya berkutat pada penjualan makanan maupun barang dagangan saja. Dengan kreativitas kita dapat menciptakan peluang usaha dengan harga yang bisa kita tentukan sendiri.” tutup Asrul Sutarjo. [ratih-mgg]

Manfaat Besar dari Aksi Kecil Earth Hour

Polines,DIMENSI - (27/3) Pada tanggal 26 Maret 2011 seluruh dunia tengah memperingati Earth Hour. Earth Hour adalah sebuah kegiatan global yang diadakan oleh WWF ( World Wide Fund For Nature) dan diadakan pada Sabtu terakhir bulan Maret pada setiap tahunnya. WWF meminta rumah-rumah dan perkantoran untuk memadamkan lampu dan peralatan listrik yang tidak perlu selama satu jam untuk meningkatkan kesadaran atas tindakan terhadap perubahan iklim.
Kampanye Earth Hour yang digelar di Indonesia pada hari Sabtu, 26 Maret 2011 pukul 20.30-21.30 WIB, diperkirakan mampu menghemat daya listrik hingga 66,1 Mega Watt (MW) dari rata-rata puncak listrik Jawa-Bali sebesar 18.200 MW. Kota Semarang menjadi bagian dari 4.616 kota di 128 negara yang berpartisipasi dalam kegiatan Earth Hour. Selain Semarang, kota-kota lain di Indonesia yang memperingati Earth Hour selama satu jam, yakni Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali.
Ternyata, beberapa mahasiswa Polines juga peduli dan merasakan manfaat dari gerakan Earth Hour ini. “Ada beberapa manfaat dari Earth Hour ini salah satunya hemat energi dan juga mengurangi dampak efek rumah kaca,” Ujar Sekti, mahasiswi Polines semester 2 kelas PPG. Sedangkan menurut mahasiswa Polines jurusan teknik mesin yang bernama Rifky, Earth Hour mencoba memperbaiki perubahan iklim yang merupakan salah satu ancaman kehidupan di bumi yang paling signifikan yaitu Global Warming. “Manfaat lain dari Gerakan Earth Hour ini adalah menghemat dana yang biasanya banyak mengucur ke listrik,” kata Rifky.
Pada intinya gerakan Earth Hour ini mengingatkan seluruh orang di dunia bahwa aksi kecil ini harus terus dibuktikan setiap hari secara efektif untuk mengurangi dampak efek rumah kaca dan diikuti dengan gaya hidup yang ramah lingkungan[Riri-mgg]

Digitalisasi PMB, Dulu Manual sekarang Online

Polines, DIMENSI- Jumat (25/3) Ada yang berbeda dari Penerimaan Mahasiswa Baru Polines (PMB Polines) tahun akademik 2011-2012. Bila dahulu registrasi dilakukan secara manual, kini telah diterapkan sistem online. sebelum adanya sistem registrasi online, calon mahasiswa harus datang ke kampus Polines untuk melakukan registrasi dan pembayaran secara langsung. Kini proses tersebut dapat dilakukan secara praktis tanpa harus datang ke kampus Polines.
Dengan adanya sistem registrasi online, calon mahasiswa yang menempuh jalur PSB Bidik Misi dan PSB reguler terutama yang berasal dari luar kota merasa dipermudah karena proses registrasi dan pengumuman PMB dapat diakses melalui internet. selain itu, sistem registrasi online dapat meminimalisir kedatangan pendaftar ke kampus Polines. Pendaftar hanya perlu datang ke kampus untuk melakukan daftar ulang setelah dinyatakan diterima sebagai mahasiswa baru Polines. Sementara untuk calon mahasiswa yang menempuh jalur Kelas Kerjasama PLN, SPA, dan UMPN masih harus datang secara langsung ke kampus Polines untuk mencetak kartu tes, verifikasi serta melaksanakan tes.
Sistem registrasi online memang telah diterapkan namun dalam kenyataanya masih ada calon mahasiswa yang menemui kesulitan saat mendaftar melalui website Polines. Kesulitan yang paling sering ditemukan adalah ketika pendaftar mengakses internet melalui sistem operasi selain Windows, misalnya Linux. Pada sistem operasi Linux, formulir pendaftaran yang telah diisi dan siap cetak akan tersimpan pada komputer sehingga untuk mencetak formulir pendaftar harus mencari data yang telah tersimpan pada komputer tersebut. Berbeda dengan sistem operasi Windows yang datanya dapat langsung dicetak tanpa harus menyimpannya ke dalam komputer. Permasalahannya adalah bila pendaftar tidak terbiasa dengan sistem operasi Linux maka ketika formulir pendaftaran tersimpan pendaftar akan menyangka bahwa data tersebut hilang sehingga mereka menginput data kembali. Saat data yang sama diinput kembali, maka website akan menolak data tersebut karena formulir PMB diprogram untuk satu pendaftar saja. Kemudian apabila pendaftar menemui kesulitan maupun kesalahan saat mendaftar, maka pendaftar dapat langsung ke kampus Polines untuk memperbaiki data yang telah tersimpan.
“saya berharap agar sistem online ini tidak hanya diterapkan dalam pelaksanaan PMB saja tapi juga diterapkan dalam registrasi ulang mahasiswa Polines” demikian ungkapan Wartoyo, S. Si selaku sekretaris Unit Pelaksana Teknis Pusat Komputer (UPT Puskom) sekaligus panitia PMB Polines. Selain itu beliau juga berharap tahun depan proses PMB menjadi lebih praktis dengan diterapkannya sistem online host to host seperti Universitas Diponegoro, tidak lagi menggunakan sistem online SPC () seperti sekarang ini.Hal ini dikarenakan sistem online SPC memiliki kelemahan yaitu proses pembayaran dilakukan setelah proses registrasi. sehingga terkadang ada calon pendaftar “nakal” yang hanya melakukan registrasi tanpa melakukan pembayaran. [Ika, Niar-mgg]

Fenomena Orang Akuntansi “Membeli Tiket ke Neraka"



Oleh : Vitri Dwi Afriati
Mahasiswa Semester 2
Jurusan Akuntansi

Siapa yang tidak kenal Gayus Tambunan? Kita semua pasti mengenalnya. Tentunya masih sangat teringat jelas di benak kita semua, tentang kasus Gayus Tambunan sang Mafia Pajak. Gayus Tambunan merupakan satu dari orang akuntansi yang tidak memiliki norma dan etika.
“Andai aku Gayus Tambunan
Yang bisa pergi ke Bali
Semua keinginannya pasti bisa terpenuhi”
Begitulah sebait lirik lagu yang ditulis oleh Bona Paputungan yang menggambarkan betapa populernya sosok Gayus sebagai seorang mafia pajak. Bahkan Gayus Tambunan dapat dikatakan telah” membeli tiket ke neraka”. Mungkin terlalu ekstrim, tetapi kata tersebut pantas untuk seorang Gayus yang telah banyak merugikan negara kita. Kasus Gayus pada akhirnya memberi image buruk pada profesi akuntansi.
Padahal sesungguhnya, orang-orang akuntansi sangatlah dibutuhkan di berbagai instansi pemerintah, swasta maupun industri. Yang mana di berbagai instansi tersebut, orang-orang akuntansi memegang peran penting dalam mengelola transaksi keuangan. Lulusan akuntansi diharapkan dapat menyelesaikan siklus akuntansi sampai menyediakan laporan keuangan. Semua itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab seorang akuntan. Itulah sebabnya orang akuntansi mudah tergiur dengan tindak korupsi.
Namun beberapa lembaga pendidikan telah menjembatani agar tindakan yang tidak beretika tersebut tidak dilakukan oleh lulusannya ketika telah bekerja. Polines adalah salah satunya. Mahasiswa Jurusan Akuntansi Polines tidak hanya menerima mata kuliah yang sepenuhnya mengacu pada akuntansi. Pada semester 1, mahasiswa menerima mata kuliah pendidikan agama juga mata kuliah etika bisnis dan profesi. Pada mata kuliah pendidikan agama kita diajarkan untuk selalu mengingat Tuhan jadi kita bisa menjadi orang yang jujur kapanpun dan dimanapun. Sedangkan mata kuliah etika bisnis dan profesi, kita diajarkan tentang perlunya kode etik dalam profesi. Dalam kenyataannnya, banyak akuntan yang tidak memahami kode etik profesinya sehingga dalam praktiknya mereka banyak melanggar kode etik. Hal ini menyebabkan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap profesi akuntansi. Kondisi ini diperburuk dengan adanya perilaku beberapa akuntan yang sengaja melanggar kode etik profesinya demi memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Dengan ditambahnya mata kuliah seperti pendidikan agama dan etika profesi tersebut, diharapkan lulusan akuntansi Polines tidak akan melakukan tindak korupsi dan jauh dengan neraka. Semoga saja calon-calon akuntan dari Polines merupakan akuntan yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

POLITIK KAMPUS

Oleh : Mohammad Muchlisin
Mahasiswa Semester 3 Jurusan Akuntansi

Politik kampus adalah suatu tatacara dan kebijakan yang mengandung kepemimpinan untuk mengatur segala sesuatunya yang berhubungan dengan kampus tersebut. Politik kampus dapat tercipta dan berkembang apabila peran dari mahasiswa sendiri tertarik dan turut serta berkontribusi aktif dalam hal-hal yang bersifat politis.
Didalam politik kampus terdapat dua bagian yang memegang peran utama untuk terwujudnya politik kampus itu sendiri, bagian pertama yaitu pemimpin mahasiswa atau yang lebih dikenal aktivis kampus, yaitu mahasiswa yang dalam kesehariannya aktif dalam urusan organisasi intern kampus. Sekelompok aktivis inilah yang dapat membuat suatu kebijakan atau peraturan intern kampus khususnya dalam ranah organisasi mahasiswa. Bagian kedua yang tidak kalah pentingnya yaitu mahasiswa (non aktivis) yang juga berperan cukup besar dalam hajat terbesar organisasi mahasiswa di kampus kita yaitu Pemilu Raya (PEMIRA), yang sebentar lagi akan kita laksanakan bersama. Kedua bagian ini tidak dapat terpisahkan, karena satu sama lain saling terikat dan berhubungan untuk membentuk suatu politik kampus.
Setiap kampus memiliki sistem pemerintahan mahasiswa tersendiri dan sistemnya pun berbeda-beda. Sistem tersebut memiliki fungsi antara lain sebagai pengendali jalannya kehidupan organisasi di kampus tersebut, sebagai tempat berlatih bagi mahasiswa yang memiliki idealisme untuk berpolitik, sebagai ajang kreatifitas yang kali ini dalam hal berpolitik, serta sebagai penghubung mahasiswa dengan institusi. Tetapi ironisnya di dalam kehidupan kenegaraan sering kali politik juga digunakan sebagai ajang mencari popularitas belaka untuk menarik simpati masyarakat, itulah yang terjadi di negara kita akhir-akhir ini. Bukan menjalankan tugas sebagaimana mestinya tetapi malah asyik beradu argumen demi popularitas. Sungguh sangat disayangkan..
Politik kampus akan tercipta apabila dua bagian utama dalam politik tersebut menjalankan fungsinya dengan baik. Sedikit menghubungkan dengan kampus kita, menurut saya kehidupan politik di kampus kita ini kurang begitu terasa, khususnya untuk setahun terakhir ini. Hal ini dapat kita lihat pada pelaksanaan PEMIRA tahun lalu misalnya, karena kurangnya semangat berpolitik dari sebagian besar mahasiswa Polines sehingga pelaksanaan PEMIRA pada waktu itu terasa sangat sepi. Besar harapan saya PEMIRA tahun ini bisa lebih ramai dan dapat dirasakan kembali keberadaannya. So, tunjukkan kontribusi aktif kita sebagai bagian utama kesuksesan politik kampus, semoga dikampus kita tercinta ini akan tercipta iklim politik yang lebih hidup dan sehat. JAYA POLINES !!! []

PMW, Kerjasama Ditjen Dikti-Polines yang Sepi Peminat

Polines, DIMENSI – Jumat (21/1) PMW (Program Mahasiswa Wirausaha) merupakan program penyediaan modal usaha dari Direktorat Jendral Perguruan Tinggi (Ditjen Dikti). Sasaran dari program ini adalah seluruh mahasiswa di Perguruan Tinggi dari berbagai jurusan dengan persyaratan mahasiswa telah menyelesaikan kuliah 3 semester atau minimal telah menempuh 60 SKS.
Latar belakang dari program ini adalah hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) oleh Badan Pusat Statistik (BPS) bulan Maret 2006 yang menyebutkan jumlah penduduk Indonesia yang miskin bertambah sejak tahun 2005. Hal tersebut terjadi karena sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi lebih berminat sebagai pencari kerja (job seeker) daripada sebagai pencipta lapangan kerja (job creator). Untuk itulah Departemen Pendidikan Nasional mengembangkan berbagai kebijakan dan program untuk mendukung terciptanya lulusan perguruan tinggi yang lebih siap bekerja dan menciptakan pekerjaan. Program Kreatifitas Mahasiswa (PKM) dan Cooperative Education (Co-op) telah banyak menghasilkan alumni yang terbukti lebih kompetitif di dunia kerja, dan hasil-hasil karya mahasiswa ini ditindaklanjuti secara komersial menjadi sebuah embrio bisnis berbasis Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni (Ipteks).
Strategi pendidikan yang diwujudkan dalam PMW ini bertujuan membentuk softskill agar berperilaku sesuai karakter wirausaha. Pelaksanaan program dirancang untuk jangka waktu satu tahun (12 bulan) yang dibagi menjadi tiga tahapan yaitu tahapan persiapan, pembekalan dan pelaksanaan program. Pembiayaan program berasal dari Pemerintah dengan alokasi antara lain untuk pengelolaan program oleh Perguruan Tinggi (10%), pendidikan dan pelatihan Kewirausahaan serta Magang (20%) dan penyediaan modal kerja untuk memulai bisnis (start-up business) (70%) yang besarnya maksimum 8 juta/mahasiswa, atau berkelompok yang terdiri dari 3 – 5 orang/kelompok dengan dana maksimum 40 juta/kelompok usaha.

Tidak tanggung-tanggung, pemerintah mengucurkan dana sebesar 500 juta untuk setiap Perguruan Tinggi. Selain mendapatkan dana, mahasiswa yang terpilih juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kuliah kewirausahaan, magang industri, serta pembinaan dalam penyusunan rencana bisnis. Kesempatan tersebut merupakan modal ilmu dalam berwirausaha yang diberikan secara cuma-cuma.
Sebagian besar mahasiswa mengaku tahu program tersebut namun mereka tidak begitu mengerti sebenarnya program itu untuk apa dan bagaimana prosedurnya. “Setahuku memang ada program yang dialokasikan bagi mahasiswa untuk berbisnis, tapi aku nggak tahu itu gimana caranya”, terang Isty, mahasiswa Polines jurusan Teknik Informatika. Kurangnya sosialisasi itulah yang menyebabkan mahasiswa tidak berminat untuk mengikuti PMW.
“Polines telah memulai pengadaan program ini, namun kuota peminat telah berkurang sejak tahun 2009, untuk itu saya melakukan penelitian bersama dosen lainnya untuk mengetahui penyebabnya”, tutur Bu Rif 'ah selaku dosen pembimbing kegiatan PMW ini.
Program ini telah menghasilkan beberapa usaha, banyak yang berhasil namun adapula yang tidak. Sebagian besar keberhasilan program ini dikarenakan usaha yang mereka ajukan sudah dirintis sebelumnya. Faktor kegagalan usaha lebih pada kurangnya pengalaman dan pengetahuan peserta tentang kondisi pasar. Bisnis yang berhasil dengan kerjasama program PMW ini yaitu; Bakso Kremes di kantin TN, Jus Buah di dekat Polines, dan bisnis kaos khas Semarang Tjorodjangkrik. [Galih, Niar, mgg]

SAAT EKSISTENSI POLINES DIPERTANYAKAN

Polines, DIMENSI - (15/1) Sebagian besar siswa SMA dan sederajat maupun masyarakat luas, kurang mengenal nama Politeknik Negeri Semarang atau biasa disebut POLINES. Mereka menganggap bahwa Polines masih merupakan bagian dari Universitas Diponegoro, padahal pada kenyataannya Polines telah berdiri sendiri sejak tahun 1998, semenjak saat itu nama Politeknik Undip telah berubah nama menjadi Polines (Politeknik Negeri Semarang).
Kurangnya sosialisasi secara langsung maupun melalui media-media menjadi salah satu penyebab kurang familiarnya nama Polines di kalangan masyarakat umum, baik yang di Semarang maupun di luar Semarang. Seperti pengakuan siswi SMK Telkom Sandhy Putra Purwokerto tentang kurangnya sosialisasi. ”Aku sendiri kurang tahu gimana prospek ke depannya, habisnya dengar Polines cuma dari mulut ke mulut, nggak pernah dengar langsung dari instansi yang berkaitan,” kata Maya Septianti, siswi SMK Telkom Sandhy Putra Purwokerto. Selain itu karena letak gerbang depan kampus Polines yang ada di belakang kampus. Hal tersebut yang menyebabkan tak banyak orang mengetahui keberadaan kampus kita dikarenakan yang menjadi bagian belakang kampus terletak di sisi luar dekat dengan jalan Prof. Soedarto yang lebih ramai dilewati kendaraan daripada sisi depan tempat gerbang Polines. Hal ini terbukti saat seorang mahasiswi Polines sendiri menyatakan. ”Lebih bagus gerbang Polines ditaruh di dekat jalan besar aja ,eman-eman udah bagus-bagus nggak kelihatan. Mending ditaruh di tempat di mana banyak orang melintas,” kata Tina, mahasiswi Jurusan Elektro semester 1.
Kebanyakan siswa-siswi SMA lebih memilih perguruan tinggi negeri yang lebih bergengsi dan lebih kondang. Seperti yang diungkapkan Sigit siswa kelas XII mantan ketua OSIS SMA 2 Semarang bahwa ia lebih memilih meneruskan jenjang pendidikannya ke STAN (Sekolah Tinggi Administrasi Negara) atau UNDIP (Universitas Diponegoro). Ia pun hanya sekedar tahu tentang keberadaan Polines, tapi tidak terlalu berminat untuk meneruskan di sini dikarenakan ketidaktahuannya terhadap Polines itu sendiri. Pernyataan itu pula yang mewakili pendapat siswa-siswi SMA dan sederajatnya tentang Polines.
Sebenarnya mutu pendidikan Polines tak kalah dengan perguruan tinggi negeri lain. Banyaknya kerja sama dengan perusahaan-perusahaan negara maupun swasta menjadi salah satu tanda jika Polines memiliki nilai lebih dibanding dengan perguruan tinggi lain. Seperti yang tertera pada Buku Panduan Akademik Tahun 2010/2011 untuk Jurusan Teknik yang bekerja sama dengan PT PLN, Jurursan Akutansi bekerja sama dengan Bank Indonesia, Jurusan Administrasi Niaga yang bekerja sama dengan PT Free Port, dan masih banyak lagi kerja sama Polines dengan perusahaan-perusahaaan lain.
“Polines itu bagus kok kualitasnya kalau saya lihat dari kerja mahasiswa yang PKL di sini. Mereka rajin, patuh, dan mau belajar.”tutur Pak Kusnadi seorang karyawan PT Telkom Semarang. Ibu Sri Lestari Fajarwati,SPd seorang guru SMA Negeri 4 Semarang menyampaikan hal yang bernada sama. ”Iya, saya tahu Politeknik Negeri Semarang, itu dulu namanya PAT digabung dengan Undip. Polines bagus, soalnya kuliah di sana bisa cepat mendapatkan pekerjaan apalagi kalau ditingkatkan mutu pendidikannya,” tutupnya. (sf, rr,mgg)

Tempat Parkir dengan CCTV Tidak Berfungsi

Polines, DIMENSI (7/1) - Kasus kehilangan kendaraan bermotor merupakan hal yang sangat dihindari dan tengah diantisipasi oleh pihak keamanan Politeknik Negeri Semarang (Polines). Tidak dipungkiri bahwa petugas keamanan parkir menjadi komponen paling penting atas terciptanya keamaan. Namun disisi lain, dari ketiga pos parkir yang terdapat di Polines yaitu pos parkir pusat, pos parkir timur (BPD Jateng), dan pos parkir barat, dinilai tidak memiliki fasilitas dan kapasitas yang cukup baik untuk lembaga pendidikan sebesar Politeknik Negeri Semarang.
Tiap-tiap pos parkir dijaga oleh dua orang petugas yang bekerja dalam waktu yang sama. Jam kerja dimulai pada pukul 06.30 - 15.00 WIB. Petugas merasa kewalahan jika hanya ada dua petugas yang harus mengawasi ratusan kendaraan yang terparkir di area seluas pos parkir pusat.
Salah satu petugas keamanan Polines, Budiyono, mengharapkan adanya penambahan jumlah petugas keamanan. “Setidaknya dibutuhkan tambahan satu orang di tiga titik pos parkir dan di lima titik pos satpam. Dengan begitu pekerjaan lebih ringan dan lebih terfokus karena jumlah tenaga yang memadai,”ujarnya.
Disamping tenaga kerja, fasilitas area parkir juga dianggap kurang memenuhi sarana keamanan tempat parkir. Di pos parkir depan Bank Jateng, bentuk area parkir yang non permanen sangat merepotkan petugas. “Karena tempat parkirnya tidak beratap, maka ketika hujan datang kami kehujanan. Begitu juga jika cuaca panas, kami pun kepanasan,” terang Budi Prayitno selaku petugas pos parkir timur yang telah mengabdi di Polines selama 10 tahun.
Sama halnya dengan petugas pos parkir barat yang mengeluhkan keadaan pos yang sudah tua. Selain itu tidak adanya kamar kecil yang aksesnya dekat dengan pos parkir barat juga menjadi keluhan petugas parkir. Lantai tempat parkir yang sudah lama rusak tidak mendapat perhatian. “Jika kerusakan ini terus dibiarkan maka besar kemungkinan akan membahayakan keselamatan pengguna parkir. Kajur Elektro sudah pernah meninjau, tapi belum ada realisasinya,” kata Yogi Ahmad.
Penyediaan rak-rak penitipan helm juga perlu bagi sebagian mahasiswa. Sebab ketika seorang pengguna parkir kehilangan helm, maka tidak akan memperoleh ganti rugi apapun dari pihak pengelola parkir. Berbeda halnya dengan kasus kehilangan kendaraan yang mendapat jasa ganti rugi atas pertanggung jawaban pengelola parkir.
Yogi Ahmad, selaku petugas parkir barat menyatakan, “Setidaknya para mahasiswa mempunyai kesadaran untuk menyapa kami agar kami bisa mengenal siapa sajakah pengguna area parkir ini. Jadi kami bisa menghindari kasus pencurian oleh orang asing yang memasuki area parkir.”
Kedisiplinan pengguna area parkir juga merupakan faktor penting dalam sistem keamanan parkir. Seluruh petugas keamanan mengharapan pemilik kendaraan mampu mengamankan kendaraan mereka dengan cara memasang kunci pengaman ganda.
Sering kali mahasiswa memarkir kendaraannya diluar area parkir. Seperti di area parkir timur, mahasiswa yang melakukan kegiatan diluar kegiatan perkuliahan lebih sering memarkir kendaraannya di depan PKM, yang bukan merupakan area parkir.
Beberapa jalan keluar untuk menghindari kasus pencurian kendaraan telah dilaksanakan. Salah satunya dengan menyediakan CCTV di area parkir pusat. Ironisnya, peralatan secanggih CCTV pun tidak mampu dimanfaatkan secara maksimal. Belum ada setahun CCTV sudah tidak dapat difungsikan kembali. Entah karena rusak atau karena terbatasnya sarana pelengkap CCTV.
“Adanya CCTV tidak bermanfaat banyak bagi kami karena CCTV yang tersedia tidak mampu menjangkau seluruh area parkir secara fokus,” terang Achmad N. selaku petugas keamanan Politeknik Negeri Semarang.
Penyediaan kartu parkir ditiap pos juga dinilai penting mengingat saat ini hanya area parkir pusatlah yang sudah dilengkapi kartu parkir.
“Saya harap Polines ini menjadi lebih baik,” tutup Budiyono selaku security Polines. [Intan, Niar, mgg]

Pak Raden yang Rajin

Gagah, terlihat segar dan berwibawa itulah gambaran seorang Pak Sukino yang lebih akrab disapa Pak Kino. Mudah saja kita untuk menemukannya, datanglah ke gedung Sekolah A Jurusan Elektro kemudian carilah orang berkumis tebal yang kata orang mirip Pak Raden di serial Unyil. Ia merupakan seorang helper di bagian jurusan Elektro.
Desember 1992 adalah awal dari pengabdiannya di Polines. Selama empat tahun pertama Pak Kino menjadi pegawai honorer, kemudian diangkat menjadi pegawai tetap di Politeknik Negeri Semarang. Loyalitasnya yang tinggi pada kampus kita dibuktikannya selama hampir 19 tahun. Susah senang ia jalani dengan ikhlas demi profesinya tersebut.
Sadar akan kebersihan lingkungan yang mendasari Pak Sukino dengan kumis tebal itu untuk bersemangat menjalani profesi yang sangat berjasa ini. Dia pun akan sangat geram jika melihat sampah berserakan tidak pada tempatnya. Terlebih jika ada sampah bekas permen karet yang menempel di lantai, karena hal ini akan semakin menyulitkan pekerjaannya.
“Saya sih kepinginnya kebersihan itu bukan tanggung jawab kami-kami ini saja, tapi ya semuanya menjaga. Biar dipandangnya enak, disawang juga nyaman.”ungkapnya mewakili keinginannya.
Setiap seusai jam perkuliahan Pak Kino berkeliling ke kelas-kelas untuk menutup jendela dan mengunci pintu. Di pagi hari membersihkan WC dan mengepel lantai. Ia juga segera berangkat bila diberi tugas oleh atasannya. Ditilik dari latar belakang pendidikannya yang hanya mengenyam sampai bangku SMP, memang dapat dikatakan kurang. Namun melihat hasil kerjanya yang memuaskan tak dapat lagi dipandang sebelah mata. Ia pun sudah akrab dengan beberapa mahasiswa, jadi tak heran jika ia familiar di mata mahasiswa apalagi dengan ciri khas kumis tebalnya itu. Walaupun ia harus membiayai istri dan kedua anaknya dengan gaji yang pas-pasan namun Pak Kino mengaku cukup betah dengan pekerjaan mulia ini. Apalagi ia tinggal tak jauh dari tempat kerjanya karena masih di sekitar Tembalang, jadi tak memerlukan biaya lebih untuk transportasi.
“Untuk Polines ke depannya saya berharap baik dari instansi bawah sampai atas semuanya bisa semakin maju.” tuturnya bijak.
Pak Kino bekerja bukan semata-mata hanya untuk mencari uang tapi merupakan pengabdian atas lingkungan dan orang-orang yang ada di sekitarnya. Untuk melakukannya dapat didasari dari niat hati, ketulusikhlasan dan yang paling penting adalah perasaan menjaga akan kebersihan dan keteraturan lingkungan. Selanjutnya hanya tinggal ketekunan dan juga kesabaran untuk menjalaninya. Bahkan Pak Kino mengaku senang dengan profesinya karena dari sana ia merasakan hangatnya kebersamaan dengan rekan-rekan satu profesinya.[shofi]

Polines Jalin Kerjasama dengan Freeport

Polines, DIMENSI – Pembatu Direktur III, Garup Lambang Goro, ST, MT, beserta rombongan, pada bulan Desember berkunjung ke PT Freeport Indonesia yang terletak di Papua. Tidak banyak yang mengetahui bahwa kampus Politeknik Negeri Semarang bekerjasama dengan PT Freeport dalam hal pendidikan. Kerjasama tersebut telah terjalin lebih dari 4 tahun, khususnya berhubungan dengan pada keniagaan yaitu Jurusan Administrasi Niaga. Hal ini diwujudkan dengan terlaksananya program beasiswa yang kini diberikan pada 24 mahasiswa Polines yang berdomisili di Papua. Mereka juga berkewajiban untuk mengenyam pendidikan di kampus Polines pada periode yang telah ditentukan.
Dosen pengajar Polines yang berdomosili di Semarang pun tak luput dari proses belajar mengajar 24 mahasiswa istimewa tersebut. Beliau tak enggan diterbangkan ke Papua untuk memberikan bimbingan kepada mahasiswa yang berada di Papua.
Keberangkatan PD III beserta rombongan ke PT Freeport berlangsung pada tanggal 17 hingga 20 Desember 2010 dengan agenda melaksanakan rapat evaluasi yudisium dan mengukuhkan ikatan alumni Polines di Papua atau yang lebih akrab disebut Ika Polines Santika. Kata Santika sendiri diambil dari singkatan Administrasi Niaga Timika.
Mahasiswa Administrasi Niaga tersebut menempuh Pendidikan hanya dalam kurun waktu 2 tahun, hal ini berbeda dengan mahasiswa pada umumnya yang mengenyam pendidikan selama 3 tahun. Nantinya mahasiswa tersebut diprioritaskan untuk diterima bekerja pada PT Freeport. “Hingga saat ini terdapat 36 anggota Ika Polines Santika yang bekerja di PT Freeport,” ungkap Garup Lambang Goro ST.MT.
Dalam Pengukuhan Ika Polines Santika, dari 36 alumni hanya 8 alumni yang dapat menghadiri acara tersebut dikarenakan kesibukan masing-masing yang telah bekerja di PT Freeport. “Nantinya diharapkan kerjasama ini akan terjalin tak hanya dalam Jurusan Administrasi Niaga, namun pada jurusan yang lain pula dan lulusan Polines program reguler juga dapat bekerja di PT Freeport,” tutup beliau. [naya-mgg]

Pembela Rakyat yang Tertidur

Oleh Bela Jannahti
Mahasiswa Semester I Jurusan Konversi Energi

Siapa yang tak mengenal Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta? Atau mungkin Soekarni, Wikana, serta Chairul Shaleh? Ya, mereka adalah sebagian dari para tokoh yang mempunyai andil besar dalam membebaskan bangsa kita dari cengkraman penjajah. Sejak masih muda, mereka sudah memulai perjuangan dan usaha untuk merebut kedaulatan Indonesia dari tangan penjajah. Dari pemuda-pemuda itulah kemerdekaan Indonesia berhasil diraih.
Begitu hebatnya kekuatan yang ditimbulkan oleh segelintir pemuda dengan semangat yang meletup-letup. Sudah banyak perubahan di negeri kita ini yang dibawa oleh pergerakan pemuda, terutama mahasiswa. Seperti pada masa pergerakan nasional, muncul banyak organisasi kepemudaan yang bersifat kedaerahan, terselenggaranya sumpah pemuda, dan tak lupa pula pergerakan mahasiswa Indonesia yang menempuh studi di Belanda. Runtuhnya orde baru juga tak lepas dari peranan mahasiswa. Sejarah telah mencatat berbagai perubahan yang diperjuangkan oleh mahasiswa. Tak heran jika kemudian mahasiswa disebut sebagai agent of change. Mahasiswa juga memiliki peran sebagai social control, yaitu peranan menjaga dan memperbaiki nilai dan norma sosial dalam masyarakat. Tak hanya itu, mahasiswa juga memiliki peran iron stock dalam perubahan di negeri ini, yakni mahasiswa sebagai aset atau cadangan sebagai pemimpin masa depan.
Ketiga peran itu dapat muncul karena mahasiswa memiliki sifat kritis. Dengan sifat kritis yang dimiliki mahasiswa, diharapkan akan muncul ide-ide solutif, kreatif dan konstruktif yang dapat membawa perubahan kearah yang lebih baik bagi bangsa Indonesia. Tak salah apabila masyarakat memiliki perspektif bahwa mahasiswa itu hebat. Karena di tangan para mahasiswa lah tergenggam arah bangsa.
Namun kenyataan yang kita hadapi saat ini jauh sekali dari bayangan diatas. Sifat kritis bukan lagi sesuatu yang identik dengan mahasiswa. Tak dapat dipungkiri lagi bahwa mahasiswa sekarang ini tak banyak yang peduli akan lingkungan dan keadaan bangsanya. Mahasiswa didoktrin hanya untuk memikirkan masa depannya, untuk memikirkan kesejahteraannya sendiri dan keluarganya, tanpa memikirkan nasib bangsa.
Mindset mahasiswa terdahulu dengan mahasiswa sekarang sangat berbeda. Sangat sedikit mahasiswa yang masih berkeinginan untuk membela rakyat, menegakkan nilai-nilai demokrasi dan memperjuangkan keadilan. Kebanyakan mahasiswa saat ini lebih sibuk mengejar Indeks Prestasi(IP) setinggi-tingginya, dengan harapan akan memperoleh pekerjaan yang diinginkan dengan gaji banyak. Hal itu lah yang menyebabkan mahasiswa menjadi kurang peka akan lingkungannya, akan isu-isu penting yang sebenarnya sangat membutuhkan suara-suara yang kritis dan konstruktif dari para mahasiswa sebagai social control. Idealisme mahasiswa seolah dininabobokan oleh impian kehidupan mapan di masa depan, dan diselimuti oleh ketakutan akan sulitnya mencari pekerjaan di masa mendatang.
Padahal sesungguhnya, negeri kita ini haus akan perubahan. Pergerakan mahasiswa yang bisa membawa angin segar bagi bangsa sangat dinantikan oleh rakyat Indonesia. Karena mahasiswa berasal dari rakyat, diharapkan mahasiswa mampu membela dan memperjuangkan nasib rakyat. Tak ada yang perlu kita takutkan selama kita berpegang teguh pada prinsip dan memperjuangkan apa yang seharusnya kita perjuangkan. Semoga saja para pembela rakyat ini segera terbangun dari tidurnya.