Belum
lama ini saya kembali mengalami kejadian kurang mengenakkan di kampus, yakni
ditegur oleh satpam kampus ketika akan pulang. Memang saya akui, jam pulang
saya terlambat, saya pulang agak larut malam setelah membantu teman-teman
menyelesaikan pembuatan majalah. Namun bukan itu yang membuat si satpam marah.
Satpam tersebut marah karena saya ini anggota LPM alias Lembaga Pers Mahasiswa.
Saya tak kaget karena itu bukan pertama kalinya saya mengalami kejadian seperti
itu. Malah sebelum kejadian tersebut, saya ditegur langsung oleh pimpinan
tertinggi institusi. Ya, karena saya anggota Lembaga Pers Mahasiswa.
Dulu
ketika pertama kali terjun di dunia pers, saya amat heran mengapa kebanyakan
warga kampus tidak suka akan kehadiran kami. Lama kelamaan saya paham, mereka
tak suka akan kritikan, meski kenyataannya mereka perlu dikritik. Kebanyakan
belum memahami tentang fungsi dan manfaat pers. Yang mereka tahu, pers hanya
bisa mengkritik dan menjelek-jelekkan. Padahal sebagian besar dari warga kampus
tentunya adalah akademisi― orang-orang yang terdidik dan sangat paham akan
peradaban. Dan ternyata tak hanya di kampus saya hal seperti itu terjadi. Tak
sedikit teman-teman mahasiswa pegiat pers yang mengalami nasib serupa. Bahkan
ada yang lebih parah, yakni diberedelnya majalah mereka dan penganiayaan
aktivis pers mahasiswa.
Menengok
ke belakang, munculnya persma atau pers mahasiswa di Indonesia sudah ada sejak
sebelum Indonesia merdeka. Yang memelopori adalah mahasiswa-mahasiswa Indonesia
di Belanda tahun 1924 sebagai bentuk protes terhadap ketertindasan bangsa
mereka. Sempat mati suri saat kependudukan Jepang karena represi yang amat
keras, namun aktivitas pers mahasiswa kembali bangkit setelah proklamasi
dikumandangkan. Terutama setelah tahun 1950, persma berkembang pesat. Pada 8
Agustus 1955 di Yogyakarta diadakan konferensi I bagi pers mahasiswa Indonesia
yang melahirkan dua organisasi: IWMI (Ikatan Wartawan Mahasiswa Indonesia) dan
SPMI (Serikat Pers Mahasiswa Indonesia). Tahun 1958, Konferensi II dilaksanakan
dan meleburlah kedua organisasi tadi menjadi IPMI (Ikatan Pers Mahasiswa
Indonesia). Pasang surut mewarnai perjalanan pers mahasiswa dalam berjuang
melawan tirani. Pemberedelan yang marak terjadi terutama pada masa Orde Baru
tak membuat para aktivis gentar memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Tak
sedikit dari mereka yang menghilang tanpa jejak (baca: dihilangkan) dan
dijebloskan ke penjara karena suara mereka yang begitu berani. Memang kekuatan
pers merupakan salah satu kekuatan yang ditakuti oleh pemerintah, apalagi bila
itu timbul dari mahasiswa.
Di
masa seperti sekarang ini, masa dimana demokrasi telah meresap ke setiap
komponen bangsa, pers tumbuh semakin pesat dan semakin meluas. Perkembangan
teknologi pun turut andil dalam menyuburkan pers. Masyarakat lebih percaya pada
media massa ketimbang pemerintah. Tukang becak pun kini melek politik. Sudah bukan masanya pers diberedel karena
kritik kerasnya terhadap pemerintah. Inilah masa kebebasan berpendapat yang
mana juga kebebasan pers menjalankan fungsinya. Pers punya kode etik
jurnalistik dan undang-undang yang mengaturnya. Buruknya, terkadang ada insan
pers yang menyikapi independensi dan kewenangan yang dimilikinya dengan tidak
bijaksana dan tidak memperhatikan kode etiknya. Untuk itulah ada Dewan Pers.
Keberadaan
pers mahasiswa sama pentingnya dengan pers pada umumnya. Yang membedakan antara
keduanya adalah ruang lingkup. Dahulu keduanya hampir tak memiliki perbedaan,
karena ruang lingkup persma adalah ruang lingkup pers biasa juga. Namun pada
masa kini, pers mahasiswa kembali ke tempat asalnya. Kampus adalah ruang
lingkup persma bergerak, namun tak menutup kesempatan bagi persma untuk tetap
tanggap terhadap isu-isu diluar kampus. Keduanya tetap memiliki fungsi yang
sama, yaitu edukasi, informasi, hiburan, dan kontrol sosial. Fungsi yang
terakhir ini yang sering menjadi masalah dan membuat citra pers mahasiswa menjadi
buruk dimata warga kampus. Tak jarang yang terkena kritikan marah, tak suka,
melontarkan sangkalan dan pembelaan. Wajar saja kalau menurut saya, manusia
pada dasarnya tak suka dikritik, lebih suka dipuji. Yang membedakan adalah cara
mereka mengekspresikan ketidaksukaan mereka. Ada yang menanggapi kritik dengan
baik, mereka menerima dan mendengarkan untuk selanjutnya melakukan instrospeksi
dan pembenahan. Namun kebanyakan tak menerima, meski apa yang disuarakan oleh
persmanya adalah kebenaran.
Untuk
itulah diperlukan keberanian yang amat besar ketika kita akan terjun ke dunia
pers mahasiswa. Kejujuran dan kehati-hatian tentu juga perlu. Rintangan
terberat kita adalah mereka yang menolak kebenaran dan pembenahan. Namun tak
berarti juga kita memusuhi mereka. Karena pers mahasiswa didirikan bukan untuk
menjadi musuh dari pihak manapun, melainkan untuk menyuarakan kebenaran dalam
rangka pembenahan dan perbaikan terutama di lingkungan kampus.[bell]