Oleh: Bela Jannahti
Mahasiswa Semester IV Jurusan Teknik Mesin
Sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat kepada presma dan wapresma kita yang baru saja terpilih, serta kepada seluruh ketua ormawa yang baru saja menggantikan ketua sebelumnya dalam kepengurusan. Regenerasi memang telah menjadi kebutuhan setiap lembaga untuk menjaga keberlangsungannya. Dan ketua, pimpinan tertinggi dari suatu lembaga atau organisasi, menjadi sesuatu yang amat vital dalam proses regenerasi tersebut. Tak heran apabila masa penentuan ketua turut menentukan akan dibawa kemana organisasi atau lembaga tersebut.
Baru
beberapa hari yang lalu pun kita mengadakan pemilihan umum raya, yaitu pesta
demokrasi untuk memilih pemimpin baru kita. Pesta demokrasi tersebut seharusnya
diikuti oleh seluruh rakyat yang dalam konteks ini berarti mahasiswa. Namun
realitasnya, apresiasi dari mahasiswa masih jauh dari maksimal. Entah strategi
kegiatan yang kurang mengena, atau memang target strategi yang apatis,
cenderung tak mau tahu tentang urusan macam itu. Mahasiswa yang saya maksud
disini adalah mahasiswa Politeknik Negeri Semarang secara umum, tak hanya
punggawa ormawa-ormawa namun juga mahasiswa yang tak terikat organisasi
manapun.
Seperti
terlihat di Kantin Tata Niaga, 5 April 2012 pukul 14.00 saat diadakan kampanye
dialog terbuka capresma dan cawapresma. Sebelum acara inti, terlebih dahulu
diadakan perkenalan calon anggota Badan Perwakilan Mahasiswa. Perkenalan ini
bagi saya sama sekali tidak menarik. Sebagian besar kandidat yang mengenalkan
diri hanya berorientasi pada lembaganya sendiri, menge-sampingkan fungsi utama
BPM yang sebagai badan perwakilan mahasiswa. Pada saat membacakan misi kedepan,
belum ada yang memberikan contoh konkrit, masih terlalu abstrak dan di
angan-angan. Serta belum ada kandidat yang inovatif dan memiliki cara pandang
baru, termasuk caranya berkampanye dan menarik minat calon pemilih. Basi.
Saat-saat
yang menarik malah saya temukan saat para kandidat diminta merundingkan suatu
permasalahan yang diajukan oleh peserta. Melihat para kandidat, berunding, mengingatkan saya
pada briefing strategi yang dilakukan tim sepakbola sebelum mulai bermain.
Panitia penyelenggara terlalu mudah digiring penonton yang hadir.
Pukul
16.00 baru dimulai dialog antar capres dan cawapres, satu jam lebih lambat dari
yang semula dijadwalkan, yaitu pukul 15.00. Para kandidat tersebut menyatakan
bahwa tepat waktu merupakan keharusan, namun mereka pula yang membuat acara
tersebut mundur satu jam, karena menunggu peserta (kandidat anggota BPM) yang
belum hadir.
Pada
awal-awal dialog capresma dan cawapresma, suasana begitu membosankan dan kurang
menarik. Sebelas duabelas dengan pertanyaannya yang klasik, jawaban yang
diberikan pun juga merupakan jawaban klasik yang itu-itu saja.
Suasana semakin memanas ketika semakin sore dimana muncul pertanyaan-pertanyaan yang saya lihat
cukup membuat para calon berpikir. Salah
satu pertanyaan yang cukup menarik adalah permintaan salah satu penonton kepada
para calon untuk menyebutkan sepuluh permasalahan yang ada di Polines. Saya
terkesan, karena dari jawaban mereka akan mengungkap atensi mereka ter-hadap
kampus yang akan mereka pimpin.
Sebagai penutup adalah permintaan dari salah
satu penonton kepada masing-masing pasangan untuk menganalisis dan menanggapi
atau mengkritik visi dan misi dari pasangan lain. Dari situ, timbul perdebatan
yang cukup panas dan memakan waktu. Dialog benar-benar hidup saat itu.
Mungkin memang diperlukan suatu pancingan
untuk menghidupkan kegiatan seperti itu, dialog, debat, diksusi, dan
sebagainya. Yang amat disayangkan, pancingan tersebut belum mengena ke
mahasiswa umum yang bukan anggota ormawa. Harapannya, kepengurusan tahun depan
bisa meningkatkan apresiasi para mahasiswa untuk lebih aktif dalam pesta
demokrasi ini. Dalam setiap regenerasi memang diharapkan hal itu, keadaan yang
lebih baik dari keadaan kemarin dan semakin baik kedepannya. Semoga saja kita
tak menjadi generasi yang merugi.
0 komentar:
Posting Komentar