Oleh :
Nur Kholis
Mahasiswa Jurusan
Teknik Mesin Semester VI
Bulan ini
mungkin menjadi bulan yang sibuk bagi masing-masing ormawa dalam mem-persiapkan pergantian ketua untuk formasi
kepemimpinan ditahun berikutnya. Pamflet berisi foto calon ketua beserta visi
dan misi dari masing-masing calon, berisikan janji-janji untuk meyakinkan
mahasiswa sebagai para pemegang hak pilih untuk memberikan suara mereka.
Pamflet-pamflet tersebut mulai akrab dipandang di berbagai papan peng-umuman.
Berbeda
dengan para anggota ormawa yang ikut terjun langsung untuk kepengurusan ormawa,
mereka tidak ada masalah dalam menilai dan memilih, siapa nanti yang akan
menjadi ketua periode selanjutnya. Namun statement tersebut tidak ber-laku bagi
mahasiswa umum yang notabenya tidak ikut terlibat dalam kepengurusan. Tentunya
akan sangat berbeda bagi mahasiswa non ormawa untuk menentukan pilihan yang
tepat, karena mereka hanya bisa memilih dan jika tidak memilih dianggap golput.
“Membeli kucing dalam karung”,
mungkin ungkapan tersebut cocok untuk menggambarkan situasi sekarang karena
dari masing-masing calon ketua, kita hanya tahu wajah mereka dari pamflet yang
ditempelkan beberapa hari sebelum pemilihan. Dan pada saat waktu pemilihan, tiba-tiba kita disodorkan kertas suara untuk
memilih para calon. Pemikiran lain mulai muncul, “saya ingin golput, saya tidak
tahu mereka, tidak tahu siapa mereka dan lagi pula golput itu juga pilihan”.
Tapi sebuah sistem menuntut kita harus memilih.
Belum
lagi masalah visi-misi yang mereka paparkan dan janji yang mereka tuturkan saat
kampanye, apakah ada jaminan mereka akan merealisasikan itu? Serta tujuan dari calon itu sendiri, yang
menjadi pertanyaan apakah mereka itu mencalonkan diri atas inisiatif sendiri
atau karena ada tujuan dari kelompok lain dibelakang bakal ketua itu? Dan yang
disayangkan setelah itu adalah tak terlihatnya calon ketua terpilih setelah
berhasil memenangkan persaingan tersebut. Itulah yang menimbulkan rasa kecewa
karena terkadang kita tidak merasa adanya perubahan saat ketua terpilih telah
menjabat.
Kita
dapat lihat di Indonesia, untuk tahun-tahun terakhir ini banyak kekecewaan yang
timbul dengan kepemimpinan pemeritah pusat. Kasus korupsi yang belum
terselesaikan sehingga me-nambah banyak daftar kasus korupsi yang tidak
terungkap. Sampai isu BBM akan naik yang menimbulkan kerusuhan karena protes
dan demo masyarakat sampai mahasiswa dari berbagai penjuru merupakan
pemandangan yang kita lihat setiap hari. Itulah ke-pemimpinan yang terlahir dari
pemungutan suara, dari pamflet-pamflet yang ter-tempel, dari jargon-jargon yang
diteriakan, dan dari janji-janji yang diucapkan. Pertanyaan yang simpel, kalau
sistem tersebut kurang efektif digunakan dan hanya menimbulkan kekecewaan dari
para pemilih. Kenapa di kampus kita masih menggunakan sitem tersebut?
0 komentar:
Posting Komentar